PENGIKUT ATAU MURID YESUS?
Ronald J. Sider, dalam bukunya The Scandal of the Evangelical Conscience,[1] menjelaskan mengenai kehidupan orang-orang Kristen injili di Amerika Serikat. Yang dimaksud orang Kristen injili di sini ialah orang Kristen yang mengaku telah lahir baru, percaya kepada Tuhan Yesus, yakin bahwa keselamatan adalah karena anugerah bukan karena perbuatan baik, dan terpanggil untuk memberitakan injil pada orang yang belum percaya. Yang sangat mengagetkan adalah—itulah mengapa hal ini disebut Sider sebagai “skandal”—kehidupan orang-orang Kristen injili di sana tak lebih baik daripada orang-orang Amerika lainnya. Misalnya, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh The Barna Group, angka perceraian di kalangan orang-orang Kristen injili ini sama dengan orang Amerika pada umumnya, yaitu: 25%. Tidak hanya itu, berdasarkan survei didapati bahwa orang-orang Kristen injili yang melakukan hubungan seks pranikah atau “kumpul kebo” tidak jauh berbeda penduduk Amerika lainnya. Fakta ini ditambah lagi dengan banyaknya orang-orang Kristen yang memukuli istri-istri mereka.
Fakta di atas benar-benar menyedihkan karena ternyata kehidupan orang-orang Kristen injili di Amerika tidak berbeda dengan dunia di sekeliling mereka. Penemuan tadi memang berkenaan dengan kehidupan orang-orang Kristen injili di Amerika Serikat. Namun di era globalisasi ini bukan mustahil hal semacam itu terjadi pula pada kekristenan di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa orang-orang Kristen yang lahir baru dan percaya kepada Tuhan Yesus, kehidupan moralnya tidak beda orang-orang lain yang tidak percaya? Menurut pendapat saya, salah satu sebabnya adalah banyak orang Kristen hanya menjadi orang yang percaya kepada Kristus tetapi tidak menjadi murid Kristus.
KATA MURID DALAM DUNIA PERJANJIAN BARU
Dalam Perjanjian Baru, kata “murid” ditulis sebanyak 269 kali. Yang menarik, kata “Kristen” hanya enam kali. Ini menunjukkan Perjanjian Baru sangat menekankan tentang pemuridan. Seorang yang percaya Yesus tidak hanya disebut sebagai “Kristen,” yang artinya “pengikut Kristus,” tetapi juga “murid Kristus.” Pada awalnya, orang percaya tidak menyebut diri sebagai orang Kristen. Tuhan Yesus dan para penulis injil dan Kisah Para Rasul menyebut orang percaya sebagai “murid.” Sebutan Kristen pada diri orang percaya diberikan oleh orang-orang non-Kristen.
Dalam Perjanjian Baru, kata “murid” memakai kata Yunani mathētēs. Kata tersebut tidak hanya dipakai dalam Alkitab, tetapi juga oleh orang-orang pada zaman itu (boleh dikatakan semua kata Yunani dalam Perjanjian Baru adalah kata-kata yang digunakan orang lain pada waktu itu). Secara umum, dalam literatur Yunani masa itu, kata mathētēs berarti “pembelajar” yang dapat menunjuk pada atlet yang sedang berlatih, seseorang yang belajar musik, astronomi, menulis, dan ilmu kedokteran. Pada era itu, kata mathētēs juga dipakai pada seseorang yang belajar pada seorang filsuf atau pengajar agama.
Namun, kata mathētēs tidak hanya berarti seseorang yang mempelajari suatu ilmu atau ketrampilan tertentu. Kata itu juga menunjuk pada seorang pembelajar yang mengikuti suatu gaya hidup yang ia sedang pelajari. Gaya hidup tersebut bukan hanya diikutinya tetapi juga telah menjadi karakteristik hidupnya. Sokrates, seorang filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, pernah mengatakan sesuatu berkenaan dengan para murid budaya Sparta, “Mereka semua orang-orang yang antusias, pecinta-pecinta, dan murid-murid (yang menggunakan kata dasar mathētēs) budaya Sparta; dan dengan segera kalian dapat mengetahui karakter tersebut (budaya Sparta yang mereka pelajari) dalam hikmat mereka.”
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa seorang murid Kristus sejati tidak hanya mengerti, memahami ajaran-ajaran Tuhan Yesus, melainkan juga mengikuti jalan hidup dan semua ajaran-Nya. Hasil dari proses belajar ini adalah ajaran Kristus itu nampak dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Comments