Skip to main content

Stereotipe

Saya sering dengar orang bilang orang bule itu individualistis, cuek, dan nggak peduli orang lain. Nyatanya selama beberapa waktu di Vancouver, saya mendapati bahwa anggapan itu tak sepenuhnya betul. Setidaknya, itu yang kami (saya dan Acen) lihat. Hari Senin yang lalu, 21 Juli 2008, kami naik bus pulang dari Capilano Suspension Bridge (mengenai jembatan ini saya akan ceritakan di bagian lain). Ketika bus berhenti di sebuah halte, ada seorang gadis Asia (mungkin orang Hongkong) yang hendak naik bus yang kami tumpangi. Gadis itu naik sepeda jadi ia harus menaruh sepedanya di rak khusus sepeda di depan bus (contohnya seperti gambar di bawah). Di sini, orang naik sepeda dan menitipkan sepedanya di bagian depan bus. adalah hal yang biasa.

Masalahnya, ia nggak bisa menaruh sepeda itu di depan bus. Mungkin ini pertama kali ia naik bus dengan sepeda. Ia tanya pada supir bus, "How to use it?" Supir bus itu tidak menjawab apa-apa cuma menggerak-gerakkan tangan seperti mengangkat sesuatu. Memang dari tadi kami amati supir bus itu dingin. Nggak ramah. Sang gadis berusaha menaruh sepedanya di rak itu tapi tak berhasil. Saya pun tak tahu bagaimana caranya, seandainya tahu mungkin saya akan membantunya.

Setelah sekian lama berusaha dan tak berhasil, tiba-tiba dari arah depan berlari seorang pemuda bule yang badannya tegap (di sini banyak anak muda cowok yang badannya tegap dan berotot) ke arah gadis yang bingung itu. Pemuda itu tinggalkan mobilnya yang sedang ngantri karena jalanan macet untuk membantu gadis itu. Di sisi lain sang supir, yang juga orang bule, nggak ngapa-ngapain. Setelah selesai membantu, pemuda itu segera berlari ke arah mobilnya, karena antrian sudah mulai cair. Cerita tentang orang-orang bule yang peduli juga pernah saya dengar dari beberapa teman Indonesia yang tinggal di Vancouver. Memang yang mereka lakukan simple, tapi itu menunjukkan kepedulian.

Kembali pada anggapan bahwa orang bule itu cuek tadi. Kita memang seringkali melakukan stereotipe terhadap kalangan tertentu. Apa itu stereotipe? Menurut kamus Meriam-Webster Online, stereotype adalah "a standardized mental picture that is held in common by members of a group and that represents an oversimplified opinion, prejudiced attitude, or uncritical judgment." Betapa seringnya kita mendengar atau bahkan mengatakan, "ah orang suku A ini malas. Bangsa B itu jahat. Orang C itu licik" dan sebagainya. Faktanya tidak demikian. Pasti ada orang-orang itu yang lakunya tak seperti anggapan itu, seperti orang-orang bule itu. Jadi, mulai sekarang mari kita melihat orang lebih objektif. Apa adanya. Tanpa prejudice. Mau?

Comments

ogautama said…
Hahaha.. ehem.. menurut saya, stereotype itu ada karena mostly benar. Jadi emang orang bule itu individualistis, cuek, dan ngga terlalu peduli sama orang lain, tapi hanya kalo menyangkut masalah personal.

Aneh sekali, tetapi orang bule itu logikanya kebalik sama kita-kita yang orang asia. Mereka baik sekali dan suka menolong, kalau pertolongan itu sifatnya impersonal. Ie, kalo kita tanya jalan (kesasar), atau minta tolong angkat barang for a short time, atau mau nunut mobil (hitchhike), mereka baik sekali dan dengan ramah tamah mau membantu. Orang asia kan mana mau ngasih tumpangan mobil ke strangers. Orang bule malah senang.

Tapi kalo hal-hal personal, mereka pada dasarnya emang cuek. Mereka ngga peduli walaupun tau kalo seseorang having affair, misalnya. Atau pregnant di luar nikah. Atau ikut gereja setan. Bagi mereka, it's not my business. Why cares.

Of course, harus diingat kalo Indonesia berada di sisi ekstrim yang satunya, di mana masalah pacaran dan mendidik anak aja jadi bahan omongan orang sekampung. Jadi di satu pihak, saya senang juga sama ke-cuek-an orang-orang di sini. ^_^
Pancha W. Yahya said…
Olive,
makasih untuk pengamatan yang tajam. Memang yang kau tulis itu sangat tepat.
Anonymous said…
"... mulai sekarang mari kita melihat orang lebih objektif. Apa adanya. Tanpa prejudice. Mau?"

Mau sih mau. Memang mestinya gitu. Tapi seringnya kita tetep kepleset kan? Padahal udah tau gak baik berprasangka itu. :)

Popular posts from this blog

"Perpisahan" yang Mengubah

Keterangan: Tulisan berikut ini masuk dalam kategori "Dari lemari." Semua tulisan yang masuk kategori ini merupakan tulisan-tulisan yang pernah saya buat dan mungkin pernah dipublikasikan. Selamat membaca! “Perpisahan” yang Mengubah Sepenggal lirik sebuah lagu pop berbunyi, “bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan yang kusesali.” Dengan kata lain, pencipta lagu tersebut ingin mengatakan kepada pendengarnya bahwa kalau nantinya ujung-ujungnya berpisah, lebih baik tidak pernah bertemu sekalian, supaya tidak mengalami sedihnya sebuah perpisahan. Memang harus kita akui bahwa perpisahan itu meninggalkan bekas kepedihan yang mendalam, apalagi berpisah dengan orang yang kita kasihi. Dan perpisahan yang paling memedihkan adalah perpisahan permanen, artinya tidak lagi berjumpa dengan orang yang kita kasihi untuk seterusnya. Menurut sebuah survey, ditemukan fakta bahwa stress yang paling mengguncangkan jiwa seseorang adalah kematian orang yang dikasihi (seperti pasangan hidup ata...

Being in Love

Since a month ago, I've been reading a book entitled A Year with C. S. Lewis: Daily Readings from His Classic Works as a part of my daily quiet time. This morning I discovered an insightful writing on love in marriage from the book. I'd like to share it to you in my blog. If the old fairy-tale ending "They lived happily ever after" is taken to mean "They felt for the next fifty year exactly as they felt the day before they were married," then it says what probably never was nor ever would be true, and would be highly undesirable if it were. Who could bear to live in that excitement for even five years? What would become of your work, your appetite, your sleep, your friendships? But, of course, ceasing to be "in love" need not mean ceasing to love. Love in this second sense--love as distinct from "being love"--is not merely a feeling. It is a deep unity, maintained by the will and deliberately strengthened by habit; reinforced b...

Dislokasi Patellar

“Dislokasi patellar, hmmm . . . apaan tuh?” Barangkali begitu respons, sebagian dari pembaca judul tulisan ini. Saya pun mungkin akan berespons sama, apabila saya tidak mengalaminya sendiri. Secara awam, dislokasi patellar berarti tempurung (lutut) yang bergeser dari tempatnya. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang hal ini bisa mengunjungi beberapa website . Silakan klik saja di sini , di tempat ini , dan kata ini . Nah, itu yang sama alami pada hari Rabu malam (3 Oktober 2007). Waktu itu saya sedang olah raga bulu tangkis, bersama dengan rekan-rekan dosen di sebuah lapangan bulutangkis (ya pasti lah main bulutangkis di lapangan bulu tangkis masak di pasar?). Setelah saya melakukan sebuah lompatan, tiba-tiba lutut kiri saya berderak keras. Seketika itu juga saya langsung berpikir, pasti tempurung saya pindah tempat! Gambar lutut kanan yang patellanya bergeser ke kanan Mengapa saya bisa kepikiran begitu? Soalnya tahun 1995 awal, jadi dua belas tahun yang lalu saya pernah mengalam...