Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya (Ef. 5:33)
Robertson McQuilkin berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara merawat sendiri Muriel, istrinya yang terkena penyakit Alzheimer atau mempertahankan jabatannya sebagai rektor Sekolah Alkitab dan Seminari Columbia. Akhirnya, ia memilih untuk melepaskan pekerjaannya demi menemani istrinya. Demikian petikan surat pengunduran diri yang dibuatnya, “Keputusan telah saya buat, empat puluh dua tahun yang lalu saya telah berjanji untuk mengasihi Muriel, ‘di dalam sakit maupun sehat sampai maut memisahkan kita’. . . . Muriel telah memperhatikan saya dengan sungguh-sungguh dan penuh pengorbanan selama tahun-tahun itu. Seandainya saya merawatnya sampai empat puluh tahun lagi, saya tetap berhutang kepadanya. . . . ini lebih sekadar tugas, sebab saya mengasihi Muriel. . . . Saya tidak harus merawatnya, tetapi saya ingin melakukannya! Saya merasa sangat terhormat dapat merawat seorang yang sangat luar biasa seperti dirinya. Merawatnya lebih dari sekadar menjalankan sebuah kewajiban dan membalas kebaikannya. Muriel adalah sukacita hidupku.”
Betapa mudah mengikrarkan janji nikah di hadapan Tuhan untuk mengasihi dan mendampingi suami atau istri kita dalam segala keadaan. Nyatanya, menjalankannya tidak semudah mengatakannya. Ketika biduk pernikahan sudah berlayar sekian tahun lamanya, saat suami atau istri dalam kondisi sakit, atau ketika pasangan kita menyakiti hati ini begitu dalam, masihkah kita memegang janji yang pernah diucapkan di altar-Nya, “saya berjanji untuk mengasihinya sampai maut memisahkan kita?”
Hubungan Allah dan umat-Nya sering digambarkan sebagai hubungan suami dan istri. Sebagai “suami,” Allah tak berhenti mengasihi dan berkorban bagi umat-Nya. Kasih dan pengorbanan itu mencapai puncak pada kematian Kristus di atas kayu salib. Relasi Yesus dan gereja ini dipakai oleh Paulus untuk menjelaskan relasi suami dan istri (ayat 28-29). Dengan kasih Kristus yang agung itu seharusnya kita mengasihi suami atau istri, “sampai maut memisahkan kita.”
Robertson McQuilkin berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara merawat sendiri Muriel, istrinya yang terkena penyakit Alzheimer atau mempertahankan jabatannya sebagai rektor Sekolah Alkitab dan Seminari Columbia. Akhirnya, ia memilih untuk melepaskan pekerjaannya demi menemani istrinya. Demikian petikan surat pengunduran diri yang dibuatnya, “Keputusan telah saya buat, empat puluh dua tahun yang lalu saya telah berjanji untuk mengasihi Muriel, ‘di dalam sakit maupun sehat sampai maut memisahkan kita’. . . . Muriel telah memperhatikan saya dengan sungguh-sungguh dan penuh pengorbanan selama tahun-tahun itu. Seandainya saya merawatnya sampai empat puluh tahun lagi, saya tetap berhutang kepadanya. . . . ini lebih sekadar tugas, sebab saya mengasihi Muriel. . . . Saya tidak harus merawatnya, tetapi saya ingin melakukannya! Saya merasa sangat terhormat dapat merawat seorang yang sangat luar biasa seperti dirinya. Merawatnya lebih dari sekadar menjalankan sebuah kewajiban dan membalas kebaikannya. Muriel adalah sukacita hidupku.”
Betapa mudah mengikrarkan janji nikah di hadapan Tuhan untuk mengasihi dan mendampingi suami atau istri kita dalam segala keadaan. Nyatanya, menjalankannya tidak semudah mengatakannya. Ketika biduk pernikahan sudah berlayar sekian tahun lamanya, saat suami atau istri dalam kondisi sakit, atau ketika pasangan kita menyakiti hati ini begitu dalam, masihkah kita memegang janji yang pernah diucapkan di altar-Nya, “saya berjanji untuk mengasihinya sampai maut memisahkan kita?”
Hubungan Allah dan umat-Nya sering digambarkan sebagai hubungan suami dan istri. Sebagai “suami,” Allah tak berhenti mengasihi dan berkorban bagi umat-Nya. Kasih dan pengorbanan itu mencapai puncak pada kematian Kristus di atas kayu salib. Relasi Yesus dan gereja ini dipakai oleh Paulus untuk menjelaskan relasi suami dan istri (ayat 28-29). Dengan kasih Kristus yang agung itu seharusnya kita mengasihi suami atau istri, “sampai maut memisahkan kita.”
Pernikahan yang berhasil membutuh sebuah perceraian: perceraian dari mengasihi diri sendiri
Paul Frost
KASIH KRISTUS KEPADA JEMAAT-NYA ADALAH DASAR DAN MODEL PERNIKAHAN KRISTEN
Paul Frost
KASIH KRISTUS KEPADA JEMAAT-NYA ADALAH DASAR DAN MODEL PERNIKAHAN KRISTEN
Dipublikasikan dalam Agenda 2008 terbitan Gloria Graffa
Comments