Pada tanggal 21 Desember 2006, suamiku memeriksakan diri pada dokter Laksmiasanti (spesialis syaraf) di Yogyakarta. Dokter itu meminta suamiku untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap. Dari hasil pemeriksaan laboratorium tersebut, dr Laksmi mengatakan bahwa suamiku kena virus. Tetapi, ia tidak bisa memastikan virus apa bercokol di tubuh suamiku. Selain itu, hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa TsHs suamiku di bawah normal. Kata dokter, ada kelainan dalam kelenjar tiroid suamiku. Oleh sebab itu, dokter tersebut memberi suamiku obat PTU.
Tanggal 11 Januari 2007, suamiku berobat juga ke dokter Djokomoeljanto, ahli endokrinologi (spesialis kelenjar), untuk mengetahui apakah kelumpuhan lidah itu disebabkan gangguan pada kelenjar tiroidnya. Dr. Djoko tidak membaca hasil pemeriksaan darah, tapi hasil MRI. Dr. Djoko berkata otak suamiku mengecil. Lalu dokter itu memberi suamiku resep untuk 2 minggu. Bila tidak ada kemajuan, suamiku disuruh untuk melakukan konsultasi kepada dokter syaraf. Suamiku menanggapi dingin nasihat dr. Djoko. Ia tidak membelikan obat yang ditulis dalam resep itu dan tidak kembali lagi ke dr. Djoko.
Tanggal 23 Januari 2007, dr Laksmiasanti melakukan pemeriksaan EMG (Electromyography) terhadap suamiku di RS Betesda, Yogyakarta. Hasilnya adalah kelumpuhan sudah menjalar pada tangan kirinya. Tangan kiri agak lemah bila disuruh menggenggam sesuatu. Pengobatan terus dilanjutkan. Namun sayang, tidak ada kemajuan tetapi malah semakin parah. Tangan kanan Siaw Bing menjadi lemah. Misalnya, ia mengalami kesulitan ketika menyiduk air dengan gayung dari bak mandi. Perihal itu sudah aku utarakan pada dokter Laksmi. Beliau berkata kelemahan itu dikarenakan suamiku kurang asupan makanan. Memang, pada saat itu berat badan suamiku sudah menyusut kurang lebih 12 kilogram. Untuk memenuhi kekurangan gizi itu, mestinya ia harus minum Entrasol minimal enam kali sehari. Cara lain adalah memasukkan makanan yang sudah dihaluskan melalui selang lewat hidungnya selama seminggu lama. Namun, suamiku tidak mau, karena untuk itu ia harus dirawat di rumah sakit Yogyakarta.
Dokter Laksmi meminta suamiku menjalani pemeriksaan MRI otak lagi karena hasil pemeriksaan MRI yang terakhir di RS Telogorejo, Semarang, sudah terlalu lama (16 Maret 2007). Hasilnya ditemukan neurohipofisis pada sisi kiri otaknya yang lebih meningkat. Diagnosa dokter Laksmi adalah: suamiku menderita penyakit diabetes insipidus. Ciri-ciri penyakit ini adalah penderitanya banyak kencing dan banyak minum. Kencing suamiku ditakar selama 3 hari. Hasilnya, dalam sehari rata-rata ia mengeluarkan urine sebanyak 6 sampai 7 liter. Kata dokter Laksmi, kalau terlalu banyak kencing, pengobatan yang dijalani suamiku akan percuma karena obat-obatan itu terbuang melalui air seni. Setelah diberi obat, kencingnya berkurang jadi 3 sampai 4 liter sehari.
Bulan April 2007, keadaan suamiku semakin merosot. Ia tidak kuat lagi menyiduk air dari bak mandi. Tak hanya itu, dulu ia makan bisa makan bubur, sekarang bubur pun harus dihaluskan. Alhasil, ia jadi semakin kurus. Berat badannya tinggal 38 kilogram. Karena keadaan suamiku yang semakin lemah, saudaraku yang tinggal sekota dengan aku (Jepara) memaksa suamiku agar ia mau dimasuki makanan lewat selang. Saudaraku juga menyuruh untuk mencoba melakukan pemeriksaan pada dokter Fenny (spesialis syaraf) di kota Kudus. Pada pertengahan Mei 2007, suamiku pun memeriksakan diri kepada dokter Fenny di Kudus. Kepada dokter Fenny, aku menceritakan riwayat penyakit suamiku. Dokter itu mendiagnosis dua kemungkinan penyakit yang diderita oleh suamiku. Pertama adalah myasthenia gravis dan kedua adakah ALS. Untuk memastikannya, suamiku harus menjalani pemeriksaan EMG di RS Elisabeth, Semarang.
Hasil pemeriksaan EMG itu, lebih menjurus kepada ALS. Namun, karena peralatan di Indonesia kurang kurang canggih, dokter Fenny menyarankan agar suamiku menjalani pemeriksaan di Singapura. Ia masih ragu apakah suamiku benar-benar menderita penyakit ALS atau bukan, mengingat ALS biasanya bermula dari tangan atau kaki sedangkan dalam kasus suamiku bermula dari lidah. Saat itu dokter itu menjelaskan bahwa bila suamiku mengidap ALS maka lama-kelamaan syaraf-syaraf otot suamiku akan lumpuh secara bertahap. Akhirnya penyakit itu dapat membawa kematian bila otot-otot untuk pernafasan lumpuh (gagal nafas).
Pengobatan terhadap suamiku terus dilakukan dengan memberikan obat-obat syaraf lewat mulut maupun diinfus agar kelumpuhan tidak menjalar tempat lain. Selain itu, suamiku terus menjalani pengobatan akupuntur di Jepara. Namun sayang, keadaan suamiku makin lemah. Leher suamiku tidak bisa lagi menahan kepalanya bila kepalanya jatuh ke belakang atau ke depan. Otot-otot lehernya semakin lemah. Bila berjalan, suamiku terus menunduk. Bila tertawa atau tersenyum, mulutnya tidak bisa seperti orang normal (bersambung).
Comments
MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. 인카지노 MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. 메리트 카지노 주소 MEGA88 MAX CASINO. MEGA88 MAX CASINO. งานออนไลน์