Kisah Tuhan Yesus mengutuk pohon ara (Mrk. 11:12-14) sangat mungkin membingungkan para pembaca. Dalam cerita itu, Yesus terlihat sebagai Pribadi yang sangat impulsif. Ia lapar, lalu dari kejauhan tampaklah sebatang pohon Ara. Melihat pohon itu tidak berbuah—hanya penuh dedaunan—Yesus marah, lalu mengutuk pohon itu hingga kering kerontang, bahkan sampai ke akar-akarnya (lih. Mrk. 11:20). Bukankah Yesus tampak sangat emosional? Salahkah pohon ara itu tidak berbuah pada saat bukan musim buah ara?
Dua kisah pohon ara dalam ayat 12-14 dan 20-25 tidak dapat dipisahkan dari insiden bait Allah. Kisah pengutukan pohon ara itu membingkai aksi Yesus di bait Allah. Apa maksud Yesus mengutuk pohon ara itu? Di dalam kitab para nabi Perjanjian Lama, pohon ara melambangkan bangsa Israel (mis. Yer. 8:13; 29:17; Hos. 9:10, 16; Mi. 7:1–6). Keadaan Israel yang tidak menjalankan perannya sebagai terang bagi bangsa-bangsa digambarkan sebagai pohon ara yang tak menyediakan buahnya, "Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai" (Mi. 7:1).
Baik tindakan pengutukan pohon ara maupun insiden di bait Allah merupakan tindakan simbolis-profetis Tuhan Yesus. Berita yang disampaikan-Nya adalah: penghukuman Tuhan atas umat Israel yang tidak menjalankan peran sebagai kanal berkat bagi bangsa-bangsa. Bait Allah tidak lagi bisa disebut sebagai "rumah doa bagi segala bangsa" (Mrk. 11:17). Jangankan menjadi berkat bagi banyak orang, bait Allah—pusat keagamaan pada waktu itu—telah menjadi "sarang penyamun" (Mrk. 11:17). Bait Allah menjadi tempat kembalinya para perampok dari menjalankan aksi jahat mereka. Bait Allah yang semestinya adalah tempat yang sakral malahan dibuat jadi tempat berlindung pada pelaku kejahatan. Mereka pikir setelah melakukan kejahatan mereka bisa seenaknya minta ampun melalui kurban-kurban bakaran. Itulah kondisi umat Israel. Mereka tidak siap menyambut datangnya Kerajaan Mesianik. Mereka didapati Allah "tidak berbuah" pada saat kedatangan Kerajaan-Nya. Itulah yang dijelaskan Yesus dalam perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur (Mrk. 12:1-12). Mereka tidak "menghasilkan" anggur pada musimnya; malahan mereka membunuh anak sang pemilik kebun anggur, yaitu: Yesus sendiri.
Akhirnya, penghancuran atas bait Allah benar-benar terjadi pada tahun 70. Pasukan Romawi dibawah komando Jendral Titus meluluhlantakan bait Allah seperti nubuat Yesus sendiri, "Tidak satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan" (Mrk. 13:2). Itu artinya, peran bangsa Israel sebagai saluran berkat bagi bangsa-bangsa telah diganti telah dicabut Tuhan. Gunung Zion telah dicampakkan Tuhan ("Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut!"). Ia tidak lagi berdiri tegak di atas gunung-gunung yang lain (Yes. 2:2; Mi. 4:1) tetapi telah dicampakkan ke laut. Tuhan telah menghancurkan umat Israel seperti Ia lakukan di Silo melalui tentara Filistin (Yer. 7:11-12; bdk. 1Sam. 4:1-21). Kini, pengampunan dan iman tidak berpusat pada ritual-ritual di bait Allah. Setelah kematian Yesus dan tabir bait Allah terkoyak, maka setiap orang yang percaya pada-Nya akan diampuni. Ekklesia—kumpulan orang percaya dari segala suku bangsa—dipanggil menjadi saluran kabar baik dan berkat, yaitu: iman dan pengampunan dari Tuhan Yesus kepada bangsa-bangsa.
Comments