Skip to main content

10 Alasan Pentingnya Pelayanan Literatur Gerejawi

Menurut pengamatan saya, dalam gereja pelayanan literatur kurang mendapat perhatian yang serius. Dibanding pelayanan lainnya seperti: paduan suara, musik, dan kotbah, pelayanan literatur relatif kurang ditekankan. Setahu saya, tidak banyak gereja yang mengembangkan pelayanan ini secara maksimal. Ada gereja menerbitkan bulletin secara berkala, namun sayang semua penulisnya adalah para hamba Tuhan dari luar gereja tersebut. Akibatnya, jemaat merasa kurang memiliki media tersebut dan kurang diberdayakan untuk menulis.


Artikel ini akan memaparkan 10 alasan mengapa pelayanan literatur gerejawi penting (saya yakin masih ada alasan lain selain dari yang saya kemukakan di sini). Untuk menyamakan persepsi penulis dengan pembaca, perlu dijelaskan di sini maksud pelayanan literatur. Pelayanan literatur adalah semua bentuk pelayanan tulis-menulis yang dilakukan oleh gereja lokal, antara lain: majalah gereja, majalah dinding, berita, bulletin, dan juga internet.


1. Alkitab adalah Literatur yang Kreatif

Dibanding kitab-kitab agama lain, Alkitab terbilang unik. Keunikannya, antara lain, terletak pada jumlah kitab di dalamnya. Alkitab kita terdiri 66 buku! Pernahkah Anda membayangkan bahwa setiap orang Kristen (yang memiliki Alkitab) telah punya sebuah perpustakaan mini. Keunikan lain adalah Alkitab ditulis oleh kira-kira 30 orang penulis dari berbagai profesi mulai dari raja, nabi, nelayan, dan pemungut cukai. Alkitab juga ditulis dalam rentang waktu yang sangat panjang. Kira-kira 2000 tahun lamanya.


Selain itu, Alkitab lebih beragam dalam hal jenis sastra. Alkitab kita jauh lebih kaya dan bervariasi dibanding kitab suci mana pun. Di dalam Alkitab kita ada: cerita, hukum, lagu, sejarah, doa, nubuat, kata-kata hikmat, perumpamaan, surat, bahkan surat cinta.


Meskipun penulisan Alkitab diinspirasikan oleh Roh Kudus, namun penulis Alkitab diberi kebebasan untuk menulis sesuai dengan kreativitas mereka. Roh Kudus tidak mendiktekan kata demi kata kepada penulis Alkitab (adakalanya memang demikian, namun sebagian besar tidak). Mereka diberi kebebasan untuk menulis sesuai bakat mereka masing-masing. Daud, sang penggubah lagu, menulis banyak nyanyian. Penulis kitab Amsal dan Pengkotbah, para bijak bestari, diizinkan menuliskan kalimat-kalimat hikmat. Lukas diberi keleluasaan untuk menghubungkan cerita Yesus (Injil Lukas) dengan sejarah gereja mula-mula (Kisah Para Rasul).[1] Alhasil, Alkitab menjadi kitab yang bukan hanya mengandung banyak jenis tulisan tetapi juga bernilai sastra tinggi.

Alkitab sebagai Firman Allah yang ditulis dengan cara yang kreatif dan puspa ragam menjadi dasar pelayanan literatur gerejawi. Para penulis Alkitab telah memberikan contoh pada kita. Mereka telah menulis firman Allah dengan cara kreatif. Ingat waktu itu, teknologi belum secanggih sekarang. Belum ada mesin fotokopi, mesin cetak, komputer, apalagi Facebook! Pada masa Alkitab orang-orang menulis di atas tablet (lempengan tanah liat), papirus (semacam dedaunan), atau gulungan kulit hewan. Pada masa itu, pendidikan juga belum seluas dan semaju sekarang. Hanya segelintir orang yang punya kesempatan untuk bersekolah dan melek huruf. Namun, keterbatasan itu tak membatasi mereka untuk (terus) menulis.


2. Allah Memerintahkan untuk Menulis

Beberapa kali Alkitab mencatat Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk menulis. Kepada Musa, Allah bersabda: “Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel” (Kel. 34:27; bdk. ayat-ayat lainnya yang serupa mis. Kel. 17:14; Ul. 31:19). Kepada Nabi Yeremia, YHWH juga menyuruh menulis, “Tuliskanlah segala perkataan yang telah Kufirmankan kepadamu itu dalam suatu kitab” (Yer. 30:2; bdk. 36:28). Kepada Nabi Yesaya, Nabi Yehezkiel, dan Nabi Habakuk Tuhan juga memberi perintah yang sama (lih. Yes. 8:1; Yeh. 43:11; Hab. 2:2). Perjanjian Baru pun menyatakan dengan jelas bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menulis. Kepada Yohanes, Ia bersabda, “Apa yang engkau lihat, tuliskanlah di dalam sebuah kitab dan kirimkanlah kepada ketujuh jemaat ini: ke Efesus, ke Smirna, ke Pergamus, ke Tiatira, ke Sardis, ke Filadelfia dan ke Laodikia” (Why. 1:11). Perintah Tuhan ini dimaksudkan supaya Firman Allah dapat dibaca dan dilakukan umat Tuhan juga diteruskan ke generasi-generasi berikutnya


3. Allah Sendiri Menulis

Di atas Gunung Sinai YHWH memberikan sepuluh perintah kepada bangsa Israel melalui hamba-Nya Musa. “TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Naiklah menghadap Aku, ke atas gunung, dan tinggallah di sana, maka Aku akan memberikan kepadamu loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka’” (Kel. 24:12). Bukan memberikan perintah-perintah itu secara lisan, YHWH menuliskannya di atas dua lempengan batu. Alkitab tidak menceritakan dengan media apa—halilintar atau api—atau bagaimana cara YHWH menulis perintah-perintah itu. Kita pun tak bisa mengetahui seperti apa bentuk tulisan Allah karena dua keping batu itu telah hilang seiring dengan hilangnya tabut perjanjian, tempat menyimpan dua batu itu.


Bukan sekali saja Alkitab mencatat Allah menulis. Di hadapan Raja Belsyazar dan seluruh pembesar negeri Kasdim yang sedang berpesta pora memakai perkakas bait Allah, Allah menulis. Tulisan itu adalah: “Mene, mene, tekel ufarsin” yang artinya: “Dihitung, dihitung, ditimbang dibagi” (Dan. 5:25) Tulisan itu menyatakan nubuat atas runtuhnya kerajaan Babel yang pongah.

Allah bukan hanya memerintahkan untuk menulis, namun Ia sendiri menulis. Bagi-Nya, tidak cukup hanya berkata-kata. Menurut saya, Allah menulis bukan tanpa maksud. Berkenaan dengan sepuluh perintah, sangat mungkin Allah menuliskan-Nya supaya perintah itu diteruskan turun-temurun tanpa distorsi. Selain itu, perintah itu disimpan di dalam tabut perjanjian sebagai sebuah simbol ikatan perjanjian antara YHWH dan umat-Nya (manusia simbol bukan hanya sesuatu yang bersifat abstrak dan konseptual). Itulah sebabnya ketika Israel tidak lagi melakukan Taurat, maka perjanjian itu berakhir. YHWH tidak lagi menjadi Tuhan atas Israel, sampai Ia membuat perjanjian yang baru di dalam Kristus (Yer. 34).


4.Manusia adalah Imago Dei

Di antara semua ciptaan lain, manusia adalah satu-satunya makhluk yang berbudaya. Pengertian budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) pikiran, akal budi; (2) adat istiadat; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju). Hanya manusia yang memiliki pemikiran yang terus berkembang, sehingga mampu melahirkan penemuan-penemuan super canggih yang berguna bagi umat manusia (meskipun banyak juga yang merusak). Juga tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki citra seni yang tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab itu benar adanya. Manusia dicipta segambar dan serupa dengan Allah. Manusia adalah imitasi dari Allah. Meskipun kualitas diri manusia sangat jauh di bawah Khaliknya, namun dibanding ciptaan lain manusia yang terunggul.

Selain karya seni, penemuan-penemuan, dan adat istiadat, tulisan juga adalah produk dari budaya. Melalui tulisan (selain juga seni), manusia mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Dulu sebelum tulisan ada manusia mengungkap hal-hal itu melalui gambar-gambar, seperti yang ditemukan di gua-gua. Belakangan manusia mengungkapkannya melaui tulisan. Sejarah mencatat tulisan pertama kali ditemukan dalam budaya Mesir dan Mesopotamia kira-kira pada 4000 SM dalam bentuk gambar (piktograf).[2]


5. Kekristenan Tumbuh di atas Tulisan-Tulisan

Kekristenan dibangun di atas dasar Firman Tuhan. Selain itu, kekristenan dibangun di atas pengajaran para rasul. Lalu, pengajaran para rasul diteruskan oleh para bapa gereja. Bapa-bapa gereja ini tidak hanya mengajar tetapi juga menulis. Mereka dikenal sampai dengan hari ini karena tulisan-tulisan mereka. Sebut saja: Clement dari Roma yang menulis Surat Clement; Ireneus dari Lyons yang menulis Melawan Bidat-Bidat (ca 180); Origenes dari Aleksandria yang menghasilkan di antaranya Tafsiran Matius dan Tafsiran Injil Yohanes; Tertulianus yang menulis sedikitnya tiga puluh tulisan, dan Agustinus dengan karyanya yang agung: Pengakua-Pengakuan dan Kota Allah.

Tak hanya para bapa gereja (100-400), para reformator pun menghasilkan banyak tulisan yang memengaruhi kekristenan masa kini. Misalnya: John Calvin dengan tafsiran-tafsirannya (ia menulis tafsiran terhadap hampir semua kitab dalam Alkitab) dan Institutio Religionis Christianae.


6. Meninggalkan Warisan Bagi Generasi-Generasi Selanjutnya

Di tengah kita, budaya lisan lebih menonjol ketimbang budaya tulisan. Kita lebih banyak mendengar ketimbang membaca. Mau bukti? Coba perhatikan ruang-ruang tunggu, seperti: bandar udara atau dokter. Coba hitung, banyak mana orang yang menunggu seraya menonton TV dengan orang yang menenggelamkan diri pada bacaan. Di tempat-tempat seperti itu kebanyakan orang menyaksikan TV bukan membaca. Kita juga lebih banyak berbicara daripada menulis. Budaya lisan ini juga merembes ke dalam gereja. Orang-orang lebih menikmati mendengar kotbah, menyimak seminar-seminar ketimbang membaca buku-buku rohani. Para rohaniwan—pendeta, penginjil, penatua—lebih banyak menyajikan ceramah, berkotbah, memimpin rapat, melakukan konseling, dan menyampaikan renungan ketimbang menulis. Bukan berarti saya anti aktivitas berbicara, namun harus ada keseimbangan antara ngomong dan menulis, karena keduanya sama penting.


Jika kita tak memperhatikan budaya tulisan, kita tak pernah meninggalkan warisan bagi orang lain. Kata-kata bijak dalam bahasa Latin berbunyi, “Verba volant, scripta manent,” yang artinya: “kata-kata terbang hilang, sementara tulisan menetap permanen.” Camkan pepatah kuno Tiongkok yang mirip dengan itu, “tulisan yang jelek apapun akan bertahan lebih lama ketimbang ingatan yang paling hebat sekalipun.” Kata-kata yang pernah ditulis (sekarang mungkin lebih tepat diketik) akan bertahan lama. Apalagi tulisan itu pernah diterbitkan dalam media cetak atau media internet. Alkitab dan tulisan bapa-bapa gereja adalah contohnya. Kita masih bisa membaca buku-buku itu sampai saat ini dan dampaknya masih bisa kita rasakan meskipun sang penulisnya telah lama pergi.


7. Menumbuhkembangkan Budaya Baca di Kalangan Orang Kristen

Peradaban kita telah memasuki era teknologi informasi. Tak heran bila internet telah menjadi “makanan sehari-hari.” Seperti lagu dari grup musik Rap tanah air Saykoji tiada hari tanpa, “online, online.” Bagi sebagian orang, sehari saja tidak online, terasa ada bagian hidup yang hilang. Berkaitan dengan baca-tulis, budaya manusia pada umumnya melewati empat tahap: (1) Budaya lisan. (2) budaya membacakan. Budaya ini terjadi ketika sebagian besar orang belum melek baca. (3) Budaya baca. (4) Budaya internet. Sayangnya, sebagian besar penduduk Indonesia melewatkan salah satu dari fase tersebut, yaitu: budaya baca. Belum sempat membaca membudaya di tengah-tengah bangsa Indonesia, kita sudah melompat masuk ke tahap berikutnya: budaya internet. Memang budaya internet juga membaca, namun ada perbedaan mendasar antara budaya internet dan budaya baca. Data internet kebanyakan dangkal dan hanya informatif (mis. Facebook dan Twitter) tanpa adanya interaksi yang intensif antara pembaca dengan bahan bacaannya. Sebaliknya, membaca memungkinkan kita untuk “bercakap-cakap” dengan bacaan melalui mencorat-coret atau menandai bacaan tersebut. Selain itu, kita dapat mengendapkan dan memberikan catatan yang berupa pikiran-pikiran kita kepada bacaan yang kita baca.

Selain itu, rumah kita juga dibombardir dengan tayangan-tayangan TV. Akibatnya, kita lebih senang dengan hal-hal yang bersifat lisan. Sebagian anak-anak sekarang tidak tahan membaca dalam cukup waktu yang lama karena mereka terbiasa melihat gambar yang bergerak dengan cepat (apalagi ditambah dengan aktivitas bermain games). Selain itu, tayangan TV meskipun kadangkala bermuatan topik yang serius namun tidak menuntut banyak pemikiran seperti membaca. Lagi pula, orang tak perlu melek huruf untuk dapat menikmati TV.


Menurut saya, budaya internet dan TV dapat memperlemah daya konsentrasi, kekritisan, daya berefleksi, dan kekuatan imajinasi seseorang. Dengan mengembangkan literatur gerejawi—bulletin, majalah, buku, tabloid, majalah dinding, juga blog[3]—gereja mengambil peran untuk mengurangi dampak negatif dari internet dan TV. Jika anggota jemaat punya kekritisan, kemampuan untuk berefleksi yang dalam, dan daya imajinasi yang menjulang niscaya gereja akan maju dan orang Kristen dapat menjadi berkat di mana pun mereka berada.


8. Memaksimalkan Karunia Jemaat

Dalam 1 Korintus 12 Paulus mengajarkan bahwa gereja itu seperti tubuh manusia. Ada banyak anggota tetapi satu Kepala. Meskipun berbeda-beda tetapi satu. Ketika memakai tubuh manusia sebagai analogi, Paulus sedang menyampaikan kebenaran mengenai kesatuan tubuh Kristus yang memiliki banyak anggota yang masing-masing punya fungsi yang khas. Tiap-tiap anggota dianugerahkan karunia Roh Kudus (ay. 11).


Alkitab mencatat ada lima belas (15) karunia (lih. Rom. 12:4-8; 1Kor. 12:8-10, 28). Namun, menurut saya karunia rohani tidak dibatasi pada lima belas karunia yang disebutkan dalam Alkitab. Pada dasarnya, karunia adalah: “Kemampuan khusus dari Tuhan yang diberikan menurut anugerah-Nya, kepada setiap anggota tubuh Kristus untuk digunakan bagi pengembangan gereja-Nya.” Jadi, kemampuan khusus lain yang dapat dipakai untuk mengembangkan gereja Tuhan termasuk karunia. Di antaranya adalah: kemampuan seni (musik, suara, rupa, drama, sinematografi, fotografi, tari), kemampuan dalam bidang teknologi informasi, juga ketrampilan menulis. Saya percaya di antara jemaat pasti ada yang Tuhan berikan karunia untuk menulis (meskipun pada dasarnya semua orang bisa menulis asalkan tahu caranya dan sering berlatih). Dengan demikian, pelayanan literatur gerejawi dapat menjadi wadah untuk mengembangkan karunia ini.


9. Sarana Pemuridan

Orang Kristen tidak hanya dipanggil untuk menjadi percaya kepada Yesus, melainkan sebagai murid Kristus. Dalam Perjanjian Baru, kata “murid” yang ditulis sebanyak 296 kali—bandingkan dangan kata “Kristen” yang hanya sebanyak enam kali—memakai kata Yunani mathētēs. Kata tersebut tidak hanya dipakai dalam Alkitab, tetapi juga oleh orang-orang pada zaman itu (boleh dikatakan semua kata Yunani dalam Perjanjian Baru adalah kata-kata yang digunakan orang lain pada waktu itu). Secara umum, dalam literatur Yunani masa itu, kata mathētēs berarti “pembelajar” yang dapat menunjuk pada atlet yang sedang berlatih, seseorang yang belajar musik, astronomi, menulis, dan ilmu kedokteran. Pada era itu, kata mathētēs juga dipakai pada seseorang yang belajar pada seorang filsuf atau pengajar agama. Lebih dari itu, kata tersebut juga memiliki arti “seorang pembelajar yang mengikuti suatu gaya hidup yang ia sedang pelajari sehingga gaya hidup itu menjadi ciri khasnya.” Dengan kata lain seorang murid Yesus adalah seorang yang mempelajari kehidupan dan pengajaran Yesus sehingga kehidupan mereka serupa Kristus.


Untuk menjadi murid Yesus, kita perlu mempelajari sumber-sumber selain Alkitab. Salah satunya adalah buku-buku atau tulisan-tulisan rohani. Buku-buku Kristiani adalah alat yang efisien dan efektif untuk pertumbuhan iman karena tahan lama, relatif tidak mahal (apalagi bahan bacaan itu dibaca beramai-ramai), juga dapat dipakai berulang-ulang. Bahan secara tertulis ini dapat dipelajari secara berkelompok sehingga dapat dipakai sebagai bahan pengajaran. Selain itu bahan bacaan dapat dibawa ke tempat-tempat terpencil di mana para pendeta, penginjil, dan pengkotbah tak dapat menjangkaunya. Apalagi sekarang dengan adanya internet, orang yang tinggal di belahan bumi manapun dapat membaca bahan yang sama. Bapak Stephen McElroy, menulis sebuah kesaksian dari seorang hamba Tuhan yang telah melayani di Indonesia lebih dari 20 tahun,

Saya dibesarkan di keluarga yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi waktu remaja saya diundang ikut sebuah summer camp yang membawa pengaruh amat besar dalam diri saya. Ada kolportase di sana dan karena saya adalah pembaca yang bersemangat, saya hanya mencari buku yang paling tebal. Tahu-tahu buku itu adalah biografi seseorang yang belum pernah saya dengar namanya: Hudson Talyor [seorang misionaris di Cina pada abad ke-19]. Saya membacanya beberapa kali sehingga mata saya terbuka tentang apa artinya memiliki hubungan yang hidup dengan Tuhan. Saat itu saya mulai sadar bahwa saya juga dipanggil untuk menjadi hamba Tuhan.


10. Sarana Pekabaran Injil

Literatur dapat menjadi media yang efektif dan efisien untuk penginjilan. Tulisan-tulisan dapat menjangkau banyak orang dengan cara yang relatif mudah (sekali lagi terima kasih kepada internet). Tidak sedikit orang yang bertobat dan menjadi percaya kepada Kristus karena berinteraksi dengan bahan bacaan kristiani. Selain itu, gereja yang memberikan wadah kepada anggotanya untuk mengembangkan kepenulisan, membuka jalan bagi lahirnya penulis-penulis Kristen. Tidak jarang penulis Kristen yang terkenal (termasuk di Indonesia) mulai aktif menulis dan terasah kemampuannya dalam pelayanan literatur gerejawi, seperti: majalah dinding atau bulletin gereja. Kita berdoa agar di masa mendatang dari negeri ini muncul “C. S. Lewis-C. S. Lewis” yang akan mewarnai dunia dengan tulisan mereka. Lewis menulis satu seri dongeng anak-anak berjudul The Chronicle of Narnia. Meskipun itu bukan novel Kristen, namun sarat dengan berita Firman Tuhan. Lewis melakukan apa yang pernah dikatakannya, “Dunia tidak membutuhkan buku-buku Kristen, tetapi buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Kristen yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kristiani.”



[1]Bandingkan dengan penulis-penulis injil lain yang hanya menulis cerita tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Mereka tidak membuat buku berseri seperti yang dilakukan oleh Lukas.

[2]Tahap perkembangan tulisan adalah: (1) piktografis (berupa gambar); (2) hierografis (berupa simbol); (3) phonetik (huruf).

[3]Blog, yang adalah singkatan weblog, merupakan catatan harian yang diterbitkan di internet sehingga dapat dibaca siapapun. Meskipun blog adalah salah satu jenis internet, namun media ini dapat dipakai gereja untuk memuat tulisan-tulisan yang inspiratif seperti media lain seperti bulletin, tabloid, atau majalah dinding gereja. Bahkan di dalam blog, pembaca dapat menuangkan ide-ide dan tanggapan terhadap tulisan yang dipublikasikan di dalamnya.

Comments

ygautama said…
Halo Ko Pancha,

Suggestion Ko Pancha untuk pelayanan literature gereja itu seperti apa ya? Tujuannya mengarah kemana? Pemahaman alkitab? Belajar mentransfer pikiran ke tulisan? Atau untuk meningkatkan rasa ingin tahu?

Saya merasa point Ko Pancha benar, cuma kurang jelas dengan what to do. Since I know some people who really like to write, maybe we can start a new tradition of writing and discussing ^_^

Popular posts from this blog

"Perpisahan" yang Mengubah

Keterangan: Tulisan berikut ini masuk dalam kategori "Dari lemari." Semua tulisan yang masuk kategori ini merupakan tulisan-tulisan yang pernah saya buat dan mungkin pernah dipublikasikan. Selamat membaca! “Perpisahan” yang Mengubah Sepenggal lirik sebuah lagu pop berbunyi, “bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan yang kusesali.” Dengan kata lain, pencipta lagu tersebut ingin mengatakan kepada pendengarnya bahwa kalau nantinya ujung-ujungnya berpisah, lebih baik tidak pernah bertemu sekalian, supaya tidak mengalami sedihnya sebuah perpisahan. Memang harus kita akui bahwa perpisahan itu meninggalkan bekas kepedihan yang mendalam, apalagi berpisah dengan orang yang kita kasihi. Dan perpisahan yang paling memedihkan adalah perpisahan permanen, artinya tidak lagi berjumpa dengan orang yang kita kasihi untuk seterusnya. Menurut sebuah survey, ditemukan fakta bahwa stress yang paling mengguncangkan jiwa seseorang adalah kematian orang yang dikasihi (seperti pasangan hidup ata...

Dislokasi Patellar

“Dislokasi patellar, hmmm . . . apaan tuh?” Barangkali begitu respons, sebagian dari pembaca judul tulisan ini. Saya pun mungkin akan berespons sama, apabila saya tidak mengalaminya sendiri. Secara awam, dislokasi patellar berarti tempurung (lutut) yang bergeser dari tempatnya. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang hal ini bisa mengunjungi beberapa website . Silakan klik saja di sini , di tempat ini , dan kata ini . Nah, itu yang sama alami pada hari Rabu malam (3 Oktober 2007). Waktu itu saya sedang olah raga bulu tangkis, bersama dengan rekan-rekan dosen di sebuah lapangan bulutangkis (ya pasti lah main bulutangkis di lapangan bulu tangkis masak di pasar?). Setelah saya melakukan sebuah lompatan, tiba-tiba lutut kiri saya berderak keras. Seketika itu juga saya langsung berpikir, pasti tempurung saya pindah tempat! Gambar lutut kanan yang patellanya bergeser ke kanan Mengapa saya bisa kepikiran begitu? Soalnya tahun 1995 awal, jadi dua belas tahun yang lalu saya pernah mengalam...

GODAAN: KARAKTERISTIK DAN BAGAIMANA MENGHADAPINYA

Bahan PA dari Yakobus 1:12-18 KISAH "TRAGIS" TED HAGGARD Ted A. Haggard adalah seorang pendeta besar. Ia adalah pendiri gereja New Life di Colorado Springs, Amerika Serikat yang beranggotakan ribuan orang. Ia juga ketua Asoasiasi Gerakan Injili Amerika Serikat (National Association of Evangelical). Ironisnya, Ted Haggard dilaporkan oleh Mike Jones, tak lain adalah pelacur laki-laki yang adalah pasangan homoseksual karena telah memaksanya meminum obat terlarang sebelum melakukan perzinahan. Celakanya, hubungan amoral itu telah berjalan selama tiga tahun. Awalnya, Ted Haggard tak mengakui tuduhan tersebut. Belakangan ia mengakuinya. Karena dosa tersebut, pada tanggal 3 November 2006 , Ted Haggard mundur dari jabatannya sebagai pendeta dan ketua Asoasiasi Gerakan Injili Amerika Serikat. Pada tanggal 5 November 2006 , ia menuliskan sebuah pengakuan, "Sebenarnya saya adalah seorang telah bersalah dalam dosa seksualitas. Saya adalah seorang penyesat dan seorang pembohong. Ada ...