Simbol merupakan identitas. Mau bukti? Seandainya Anda melihat gambar apel kroak di sisi kanannya, kemungkinan besar Anda akan langsung ingat pada sebuah perusahaan Amrik penjual komputer dan berbagai piranti lunak. Perusahaan itu ialah Apple. Atau misalnya, sebuah mobil melintas di depan Anda; di kap mesin mobil itu bertengger seekor macan kecil—tentunya bukan macan beneran—yang tengah menerkam mangsanya, niscaya Anda akan berdecak-decak. Mobil yang punya lambang seperti itu adalah mobil merek Jaguar yang keren juga mahal.
Rupanya, lambang tak hanya milik produk(-produk) niaga. Agama juga punya lambang! Sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedang agama Islam diwakili oleh lambang bulan sabit dan bintang. Lalu, lambang agama Kristen? Anda tentu mafhum jawabannya, “salib!”
Rupanya, lambang tak hanya milik produk(-produk) niaga. Agama juga punya lambang! Sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedang agama Islam diwakili oleh lambang bulan sabit dan bintang. Lalu, lambang agama Kristen? Anda tentu mafhum jawabannya, “salib!”
Konon, salib jadi simbol kekristenan setelah menyusuri jalan panjang. Pada awalnya orang Kristen tidak memakai salib sebagai simbol, melainkan burung merak (sebagai lambang kekekalan), merpati, mahkota kemenangan atlet romawi dan terutama ikan. Ikan dipakai sebagai lambang karena kata “ikan” dalam bahasa Yunani adalah “ichtus.” Kata itu digunakan untuk singkatan Iesus Christos Theou Huios Soter (Yesus Kristus, Anak Allah, Juruselamat) (lih. gambar).
Mengapa orang Kristen mula-mula belum memakai simbol salib? Jawabannya adalah karena mereka enggan memakai salib yang mengingatkan mereka pada hukuman yang terkeji dan memalukan. Mereka menolak memakai salib, karena kengerian yang terkandung di dalamnya. Cicero (106-43 SM), seorang negarawan dan ahli hukum Romawi pernah menyinggung kengerian salib, “gagasan tentang ‘salib’ tidak hanya harus dibuang jauh-jauh dari diri seorang warganegara Romawi, tetapi juga tidak boleh terlintas dalam pikirannya, matanya dan pendengarannya.” Akhirnya, pada abad kedua (kira-kira seratus tahun setelah Yesus wafat) salib mulai dipakai orang Kristen. C. S. Lewis, seorang munsyi sekaligus apologet Kristen pernah bertutur, “salib mulai menjadi seni yang umum dipakai oleh gereja pada saat semua orang yang pernah melihat salib yang sesungguhnya mati.” Pada puncaknya, salib dipakai sebagai lambang resmi agama Kristen setelah kaisar Roma, Konstantinus Agung, bertobat. Pada tahun 300-an kaisar itu memaklumatkan agama Kristen sebagai agama resmi Roma dan menggunakan salib sebagai lambang.
Mengapa akhirnya agama Kristen memilih salib sebagai identitasnya? Mengapa bukan palungan, lidah api, mahkota, atau kubur yang kosong? Jawabannya karena salib adalah inti kehidupan Tuhan Yesus, sekaligus jantung kekristenan. Bagi orang Kristen, salib bukan sekadar tempat eksekusi yang terkeji karena di atasnya sang terhukum digantung untuk merasakan siksaan yang tak terperi detik demi detik, bahkan selama berhari-hari. Salib juga bukan sekadar alat pengukum mati yang terhina karena sebelumnya terhukum yang memikul salibnya harus diarak keliling kota untuk dipermalukan. Salib, dari perspektif orang percaya, mengandung makna yang amat penting.
1. DI ATAS SALIB YESUS MATI MENGGANTIKAN KITA
1. DI ATAS SALIB YESUS MATI MENGGANTIKAN KITA
Sang Khalik adalah Guru yang ulung. Betapa tidak? Saat mengajar tentang makna salib, Allah tidak menjelaskannya begitu saja. Allah menggunakan alat peraga, bahkan mengajak umat-Nya untuk terlibat dengan alat itu. Konon, menurut para pakar pendidikan, semakin banyak indera murid dilibatkan dalam proses pembelajaran, semakin si murid paham. Nah, untuk menolong umat-Nya memahami arti salib, Allah memakai “kurban.”
Sedari awal peradabannya, manusia telah mengenal kurban. Memang Alkitab tidak menyebut siapa pengajar manusia untuk mempersembahkan kurban. Tapi, dapat dipastikan Allah sendiri yang memperkenalkan ide kurban pada manusia. Alkitab menceritakan mulai dari anak-anak Adam dan Hawa, Kain dan Habil, manusia telah mempersembahkan kurban (Kej. 4:1-5). Tak ayal, selepas air bah Nuh dan keluarga pun menyembelih beberapa hewan lalu mempersembahkannya sebagai kurban bakaran (Kej. 8:20). Selain Nuh, tak ketinggalan Abraham juga membakar kurban di atas mezbah (mis. Kej. 12:7-8). Setelah bangsa Israel mengalami pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir, Allah memberi hukum-hukum-Nya agar mereka tidak melenceng dari perjanjian dengan Allah. Salah satu perintahnya ialah mempersembahkan kurban.
Secara umum, kurban dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama ialah kurban yang dipersembahkan untuk menyembah dan mengucap syukur pada Allah. Sedangkan jenis yang kedua adalah kurban yang dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa. Ketika seorang Israel berbuat dosa, ia harus mengambil hewan, entah itu lembu atau kambing, menyembelihnya dan mempersembahkan kepada Tuhan menurut aturan yang telah ditentukan Tuhan. Setahun sekali seorang imam besar, yaitu pimpinan dari orang-orang yang bertugas melaksanakan segala bentuk ibadah di bait Allah, harus menyembelih beberapa hewan (aturan secara mendetail dapat dilihat dalam Imamat 16) untuk menghapus dosa seluruh umat Israel.
Hal-hal apakah yang hendak Allah ajar melalui alat peraga kurban? Pertama, semua bentuk dosa mendatangkan hukuman dari Allah. Dosa itu ibarat sejumlah hutang yang harus dibayar dengan hukuman dari Allah. Namun, seorang pendosa dapat luput dari hukuman bila ada pihak lain yang menggantikannya. Dalam hal ini, hewan-hewanlah yang harus menanggung hukuman itu. Namun, Alkitab mencatat bahwa hewan kurban yang dipersembahkan kepada Allah tidaklah cukup untuk menghapuskan hukuman dosa. Mengapa demikian? Selain karena kurban itu dipersembahkan oleh imam yang berdosa (Ibr. 7:27), kurban-kurban itu hanya dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja (Ibr. 9:6-7 bdk. Im. 4:2).
Lalu, bagaimana halnya dengan dosa yang dilakukan secara sengaja? Apakah dosa semacam ini dapat diampuni? Jawaban dari pertanyaan ini ialah “dapat!” So, bagaimana caranya? Tentu saja dengan prinsip kurban. Dosa tetap mendatangkan hukuman, namun hukuman itu tidak harus ditanggung sendiri oleh pendosa itu asal ada yang menggantikannya. Lalu siapakah yang dapat menggantikan hukuman itu? Yesaya 53 ayat 4 dan 6 memberitahukan jawabnya, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.” Yesus yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya, Dialah yang menjadi pengganti bagi manusia yang berdosa! Dengan menyitir Ulangan 21:23, Paulus berkata, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’” (Gal. 3:13). Yesus yang tergantung di atas kayu salib Dia-lah yang menjadi kurban yang “tersembelih” bagi kita. Saat Ia meregang nyawa di atas salib, Yesus menanggung murka Allah yang seharusnya ditimpa manusia.
Baru-baru ini banyak orang menuntut penundaan eksekusi mati atas Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, tiga orang tersangka otak kerusuhan Poso. Dukungan untuk ketiga ketiga orang itu mengalir dari banyak pihak, mulai dari rakyat jelata , para petinggi agama sampai tokoh-tokoh nasional. Dukungan juga membanjir dari dalam maupun luar negeri. Yang menarik, pada tanggal 11 April 2006 harian Suara Pembaruan mendapat e-mail dari seorang pastor katolik Indonesia yang sedang studi filsafat di Roma. Pada intinya, pastor yang bernama Leo Mali, Pr. itu bersedia untuk menggantikan Tibo dan kawan-kawannya untuk menanggung eksekusi itu. Sungguh, berita itu amat mengejutkan saya! Bayangkan, di tengah zaman yang individualis dan pragmatis ini, ternyata masih ada orang yang mau mati untuk orang lain, bahkan yang tak dikenalnya. Namun kematian Yesus di atas kayu salib berbeda dengan kesediaan Romo Leo untuk mati bagi Tibo dan kawan-kawannya. Kematian seorang manusia, siapa pun itu, tak punya dampak apa-apa dalam hal pengampunan dosa. Kematian manusia berdosa tak dapat menghapus hukuman bagi pendosa lainnya. Namun, kematian Yesus di atas kayu salib sanggup menghapus hukuman dosa umat manusia.
Yesus dapat menanggung hukuman yang seharusnya diterima manusia, sebab Ia tanpa dosa (Ibr. 4:15; 7:6). Konsep yang Allah ajarkan melalui kurban ialah hewan yang hendak dikurbankan harus sempurna, tanpa cacat cela. Konsep itu pun berlaku pada diri Yesus. Yesus dapat menjadi kurban sempurna karena Ia pun sempurna, tanpa setitik dosa.
Yesus dapat menanggung hukuman yang seharusnya diterima manusia, sebab Ia tanpa dosa (Ibr. 4:15; 7:6). Konsep yang Allah ajarkan melalui kurban ialah hewan yang hendak dikurbankan harus sempurna, tanpa cacat cela. Konsep itu pun berlaku pada diri Yesus. Yesus dapat menjadi kurban sempurna karena Ia pun sempurna, tanpa setitik dosa.
Setiap kali mengingat penyaliban Yesus, hati saya penuh haru. Dalam hati ini membuncah rasa takjub campur sukacita. Bagi saya yang kecil dan hina ini, kok mau-maunya Allah mati? Pengorbanan Yesus terasa terlalu besar untuk saya. Tapi selain terharu saya pun malu. Saya malu pada diri saya sendiri. Saya merasa belum memberi apa-apa untuk Tuhan. Sebaliknya, saya sering mengecewakan Dia. Pikiran, kata dan perbuatan saya kerap mendukakan-Nya. Duh Gusti, ampuni!
2. DI ATAS SALIB YESUS MENGALAHKAN IBLIS
Pernah nonton film Ransom? Film yang ditayangkan pertama kali tahun 1996 ini bercerita tentang keluarga seorang konglomerat bernama Tom Mullen (diperani oleh aktor ganteng Mel Gibson) dengan istrinya, Kate serta anak mereka, Sean. Suatu hari, anak semata wayang itu diculik. Penculik itu meminta Tom menukar nyawa anaknya dengan uang tebusan sebesar dua juta dollar Amerika. Mendengar permintaan itu, sang bapak memutar otak dan berusaha sekuat tenaga agar ia tidak kehilangan uang namun anaknya tetap selamat.
Sekitar seribu delapan ratus tahun yang lalu, Origenes memaknai penyaliban Yesus dari sudut pandang tebusan (belakangan pandangan ini diikuti juga oleh Gregory, uskup Nissa [335-394]). Menurutnya, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa telah menjadi tawanan iblis. Namun, Yesus memberikan diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi manusia yang berdosa. Iblis, yang sejak dulu mengharapkan kekalahan Anak Allah tentu saja mau menukar manusia dengan kematian Yesus. Ternyata iblis tertipu. Di atas salib, Yesus tetap menang. Kuasa dan kesucian Yesus telah mengalahkan si iblis. Kebangkitan Yesus pada hari ketiga pun jadi bukti kemenangan telak-Nya atas kuasa maut.
2. DI ATAS SALIB YESUS MENGALAHKAN IBLIS
Pernah nonton film Ransom? Film yang ditayangkan pertama kali tahun 1996 ini bercerita tentang keluarga seorang konglomerat bernama Tom Mullen (diperani oleh aktor ganteng Mel Gibson) dengan istrinya, Kate serta anak mereka, Sean. Suatu hari, anak semata wayang itu diculik. Penculik itu meminta Tom menukar nyawa anaknya dengan uang tebusan sebesar dua juta dollar Amerika. Mendengar permintaan itu, sang bapak memutar otak dan berusaha sekuat tenaga agar ia tidak kehilangan uang namun anaknya tetap selamat.
Sekitar seribu delapan ratus tahun yang lalu, Origenes memaknai penyaliban Yesus dari sudut pandang tebusan (belakangan pandangan ini diikuti juga oleh Gregory, uskup Nissa [335-394]). Menurutnya, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa telah menjadi tawanan iblis. Namun, Yesus memberikan diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi manusia yang berdosa. Iblis, yang sejak dulu mengharapkan kekalahan Anak Allah tentu saja mau menukar manusia dengan kematian Yesus. Ternyata iblis tertipu. Di atas salib, Yesus tetap menang. Kuasa dan kesucian Yesus telah mengalahkan si iblis. Kebangkitan Yesus pada hari ketiga pun jadi bukti kemenangan telak-Nya atas kuasa maut.
Tentu saja kita tidak dapat menerima pandangan Origenes dan Gregory. Pandangan mereka itu terlalu membatasi ke-Mahakuasaan Allah. Seolah-olah Allah lebih inferior dari iblis sehingga harus tunduk di bawah aturan main bikinan iblis. Lagi pula penipuan yang terkandung dalam pandangan ini tidak sesuai dengan sifat Allah yang benar dan kudus. Namun, pandangan ini memuat beberapa kebenaran. Pertama, salib adalah kancah peperangan antara Allah dan si penguasa maut. Kedua, di atas salib Yesus telah menghancurkan si iblis.
Sebetulnya sedari awal bau peperangan antara Anak Allah dan pangeran maut telah tercium. Sejak kelahiran Yesus, iblis telah berusaha untuk menghancurkan-Nya. Melalui tangan Raja Herodes yang bengis, iblis berkeinginan melenyapkan Sang Bayi kudus. Tak cuma itu, iblis berusaha dengan berbagai cara untuk menggoda agar Yesus jatuh. Iblis memberanikan diri menjumpai Yesus untuk melancarkan serangan mautnya setelah Yesus berpuasa empat puluh hari. Sang ular tua pun memperalat orang banyak untuk membujuk Yesus agar mbalelo dari misi-Nya untuk menjadi raja duniawi (Yoh 6:15). Iblis juga tak kurang licik, ia memakai Petrus, yang baru saja memproklamirkan ke-Mesiasan Yesus di depan para murid, untuk memengaruhi Yesus agar Ia meninggalkan jalan salib. Namun, Yesus menghardik Petrus dan berkata, “Enyahlah iblis!” (Mat. 16:23). Puncak peperangan itu ialah salib. Godaan untuk tidak menaati kehendak Bapa telah mengepung Yesus semenjak di Getsemani. Pertempuran Yesus melawan godaan iblis itu bertambah berat karena Ia harus menghadapinya sendirian. Di saat genting, murid-murid-Nya justru ngacir meninggalkan-Nya. Ada yang menjual, ada pula yang menyangkali-Nya. Sisanya tidak lebih baik. Mereka juga “menjual” Yesus dengan keselamatan mereka sendiri. Tetapi pergumulan itu jadi maha berat, karena Sang Bapa meninggalkan Anak-Nya sebatang kara. Yesus benar-benar berjuang sendiri. Tapi puji Tuhan, Yesus menang! Sampai saat terakhir Yesus tetap taat dan tidak berdosa. Ia telah menang atas segala macam tipu muslihat dan godaan bapa pendusta itu. Di atas salib kepala ular itu telah diremukkan (Kej. 3:15). Hancur lebur. Menjadi puing.
Tetapi kisah perang ini belum usai. Sampai kini raja maut dan antek-anteknya terus berupaya menghancurkan para pengikut Kristus (mis. Ef. 6:12). Sayang, tak banyak anak Allah menyadari bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah kancah perang. Hanya sebagian kecil yang bersiap siaga. Sisanya, sedang leha-leha. Ketika serangan itu datang, orang-orang itu langsung mengibarkan bendera putih. Menyerah kalah. Padahal di atas salib, Yesus, telah mematahkan kuasa Sang Maut. Kemenangan Yesus di atas salib telah menjamin kemenangan kita. Hanya, kita harus selalu waspada, senantiasa memakai peralatan perang rohani. Berjaga-jaga di dalam doa dan terus mengasah pedang roh, yaitu dengan merenungkan firman Tuhan dan melakukannya dengan setia (Ef. 6:13-18).
Sebetulnya sedari awal bau peperangan antara Anak Allah dan pangeran maut telah tercium. Sejak kelahiran Yesus, iblis telah berusaha untuk menghancurkan-Nya. Melalui tangan Raja Herodes yang bengis, iblis berkeinginan melenyapkan Sang Bayi kudus. Tak cuma itu, iblis berusaha dengan berbagai cara untuk menggoda agar Yesus jatuh. Iblis memberanikan diri menjumpai Yesus untuk melancarkan serangan mautnya setelah Yesus berpuasa empat puluh hari. Sang ular tua pun memperalat orang banyak untuk membujuk Yesus agar mbalelo dari misi-Nya untuk menjadi raja duniawi (Yoh 6:15). Iblis juga tak kurang licik, ia memakai Petrus, yang baru saja memproklamirkan ke-Mesiasan Yesus di depan para murid, untuk memengaruhi Yesus agar Ia meninggalkan jalan salib. Namun, Yesus menghardik Petrus dan berkata, “Enyahlah iblis!” (Mat. 16:23). Puncak peperangan itu ialah salib. Godaan untuk tidak menaati kehendak Bapa telah mengepung Yesus semenjak di Getsemani. Pertempuran Yesus melawan godaan iblis itu bertambah berat karena Ia harus menghadapinya sendirian. Di saat genting, murid-murid-Nya justru ngacir meninggalkan-Nya. Ada yang menjual, ada pula yang menyangkali-Nya. Sisanya tidak lebih baik. Mereka juga “menjual” Yesus dengan keselamatan mereka sendiri. Tetapi pergumulan itu jadi maha berat, karena Sang Bapa meninggalkan Anak-Nya sebatang kara. Yesus benar-benar berjuang sendiri. Tapi puji Tuhan, Yesus menang! Sampai saat terakhir Yesus tetap taat dan tidak berdosa. Ia telah menang atas segala macam tipu muslihat dan godaan bapa pendusta itu. Di atas salib kepala ular itu telah diremukkan (Kej. 3:15). Hancur lebur. Menjadi puing.
Tetapi kisah perang ini belum usai. Sampai kini raja maut dan antek-anteknya terus berupaya menghancurkan para pengikut Kristus (mis. Ef. 6:12). Sayang, tak banyak anak Allah menyadari bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah kancah perang. Hanya sebagian kecil yang bersiap siaga. Sisanya, sedang leha-leha. Ketika serangan itu datang, orang-orang itu langsung mengibarkan bendera putih. Menyerah kalah. Padahal di atas salib, Yesus, telah mematahkan kuasa Sang Maut. Kemenangan Yesus di atas salib telah menjamin kemenangan kita. Hanya, kita harus selalu waspada, senantiasa memakai peralatan perang rohani. Berjaga-jaga di dalam doa dan terus mengasah pedang roh, yaitu dengan merenungkan firman Tuhan dan melakukannya dengan setia (Ef. 6:13-18).
Comments