Saya adalah bagian dari sekumpulan orang yang turut melihat langsung kemurahan Tuhan atas Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Saya termasuk saksi (hidup), yang turut mengikuti karya Tuhan dalam proses pembangunan kampus SAAT yang baru. Tak hanya itu, saya pun turut mengecap kebaikan Tuhan itu. Bersama-sama dengan para mahasiswa dan beberapa dosen yang lain, saya pun mendapat anugerah untuk tinggal di lingkungan kampus SAAT yang asri nan indah. Sejak awal September 2007, saya dan keluarga menempati salah satu perumahan dosen di kampus SAAT yang baru.
Di halaman depan setiap rumah dosen, termasuk di depan rumah kami, ditanami sebuah pohon yang bernama Tababuya atau Tabebuia (lat. Bignonia Tababuya). Bagi saya dan istri, pohon ini “aneh.” Pertama-tama, namanya saja sudah aneh. Belum pernah saya dengar nama pohon seperti itu. Lalu, penampakannya juga aneh. Pohon itu tingginya kira-kira empat sampai lima meter. Batangnya tidak besar. Daun-daunnya cuma tumbuh di pucuk-pucuk rantingnya. Itu pun tidak banyak. Yang lebih “aneh,” Sudah jarang, dedaunan itu rontok satu-satu. Sampai-sampai, pohon itu gundul.
Beberapa kali saya dan istri mendiskusikan “nasib” pohon Tababuya di depan rumah kami. Kami kuatir jangan-jangan pohon itu tak lama lagi mati. Kalau pohon itu sampai mati, sayang sekali. Kami hanya bisa berharap kekuatiran itu tak jadi kenyataan.
Beberapa waktu berselang, mulai muncul “kehidupan.” Satu dua kuntum bunga mulai nampak di pucuk-pucuk ranting pohon. Aha, ternyata pohon itu belum mati. Kami sedikit terhibur. Lama-lama, kuntum itu makin banyak. Bergerombol-gerombol. Lalu, satu demi satu kuntum itu mulai mekar. Bunganya indah, kuning warnanya. Makin lama, makin banyak kuntum yang mekar. Pohon itu pun penuh dengan bunga indah berwarna kuning. Wah, kami tak menyangka ternyata pohon yang kami sangka sudah (hampir) mati itu menjadi sangat indah. Sangat menawan.
Pohon Tababuya di depan rumah kami
Indah, bukan?
Rupanya, itulah proses yang harus dilalui pohon itu sebelum berbunga. Dedaunannya terlebih dulu rontok agar ada tempat untuk kuntum-kuntumnya. Lantas, kuntum-kuntum itu mulai bermekaran dan keindahannya menjadi sempurna.
Hidup ini laksana pohon Tababuya. Makin lama, “keindahan” hidup kita pun rontok satu demi satu. Seperti Paulus berkata “manusia lahiriah kami semakin merosot” (2Kor. 4:16), setiap kita pun akan mengalami kemunduran jasmaniah.
Kaki kita tidak akan selincah waktu kita masih remaja. Stamina kita makin lama makin menipis. Mata kita semakin kurang jelas. Tubuh kita ini akan rontok. Akhirnya, kita semua akan mati. Namun, hidup tak berhenti di sana. Justru saat itu, hidup baru mulai. Kelak, setiap orang percaya akan dibangkitkan. Saat itulah tubuh yang baru mulai mekar. Tubuh yang tak dapat rontok. Tubuh yang mulia. Tubuh kebangkitan (1Kor. 15:43-44). Semasa hidup di dunia ini, kita masih merasakan rupa-rupa penderitaan dan kelemahan tubuh. Tapi, marilah kita memandang jauh ke depan. Kita akan menanggalkan tubuh yang fana ini untuk mengenakan tubuh yang baru. Selama-lamanya.
Comments