-----------
Kira-kira bulan September 2005, tanggalnya aku lupa, gigi suamiku, Tjan Tjang Siong atau yang biasa dipanggil Siaw Bing, dicabut. Yang dicabut ialah gigi taring sebelah kanan. Gigi itu terpaksa harus dicabut karena gigi itu tinggal separuh sebab terdapat lubang di pinggirnya. Sebelumnya, gigi yang ada di sebelah gigi taring itu juga sudah dicabut. Jadi, ada dua buah gigi berdampingan yang dicabut.
Setelah dua gigi bagian atas itu dicabut, suamiku merasa ada perbedaan. Ia mengalami kesulitan apabila meludah maupun berbicara. Lama kelamaan, bila makan sambil berbicara, suamiku susah untuk mengunyah dan, terkadang tersedak. Akibatnya, suamiku makannya lama sekali. Dulu, kalau suamiku makan nasi, ia selesai lebih dulu dari aku. Tapi sekarang, aku sudah selesai makan, suamiku belum selesai juga. Tak hanya itu, bila ia berbicara agak lambat dan agak cadel. Meskipun mengalami kesulitan, setelah pencabutan dua gigi atasnya, hal itu tidak pernah dikeluhkan atau dirisaukan oleh suamiku.
Semula kami tinggal di Jogja, tetapi karena urusan pekerjaan, pada bulan Maret 2006 aku dan suamiku pindah ke Jepara. Di Jepara, ada seorang dokter gigi yang aku kenal dengan baik. Aku pun bertanya kepadanya perihal gangguan yang dialami oleh suamiku itu. Dokter gigi itu bilang bahwa tidak pernah ada orang yang seperti suamiku setelah cabut gigi.
Pada bulan April 2006, suamiku membuat gigi palsu di tempat dokter gigi yang aku kenal itu. Setelah gigi palsunya terpasang, mulanya suamiku merasa lebih enak untuk mengunyah makanan. Namun, lama kelamaan tetap saja ia mengalami kesulitan untuk mengunyah makanan. Kemudian, lidah suamiku tidak bisa dijulurkan dan dibelokkan sebelah kiri. Kesulitan-kesulitan itu mengakibatkan berat badan suamiku turun beberapa kilogram.
Pada awal Juni 2006, aku mengajak suamiku untuk diperiksa oleh dokter. Akhirnya, suamiku diperiksa oleh dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorokan di RS Telogorejo, Semarang. Menurut dokter tersebut, tidak ada penyakit di tenggorokan suamiku. Dokter THT itu merujuk suamiku ke dokter syaraf atau melakukan pemeriksaan endoskopi. Hari itu juga suamiku memeriksakan diri ke dokter Wirawan, seorang dokter spesialis syaraf. Dokter Wirawan menyuruh suamiku untuk melakukan pemeriksaan MRI di RSU Karyadi, Semarang.
Pada tanggal 28 Juni 2006, suamiku melakukan pemeriksaan MRI, dan hasilnya di otaknya tidak ditemukan penyakit apapun. Dokter spesialis syarat itu mendiagnosis bahwa kemungkinan ada kelumpuhan syaraf lokal atau batang otak suamiku. Lalu dokter tersebut memberi suamiku obat-obatan berupa vitamin-vitamin, di antaranya vitamin E. Namun, oleh suamiku obat-obat itu tidak diminum.
Perjuangan untuk mencari kesembuhan suamiku kami tempuh melalui cara lain. Kami mencoba untuk menjalani pengobatan akupuntur di Semarang. Sepulang dari tusuk jarum, suamiku menunjukkan padaku perubahan yang terjadi pada lidahnya. Ia bisa menjulurkan lidah dan menggerakkannya walau tidak sempurna. Kemajuan itu membuat kami girang.
Tanggal 22 Oktober 2006, petaka lain tiba. Ketika suamiku membetulkan antena tv, ia jatuh dari langit-langit rumah. Kejatuhan itu membuat tulang belikat sebelah kirinya patah dan harus dipasang pen. Untuk sementara, tangan kirinya tidak boleh melakukan pekerjaan berat, sehingga pengobatan akupunktur yang harus dilakukan di Semarang terhenti. Biasanya, suamiku ke Semarang dengan mobil sendiri, dan kadang-kadang naik sepeda motor sendiri. Lama kelamaan, lidah suamiku semakin susah digerakkan. Semula ia bisa makan nasi sekarang harus makan makanan yang lunak, yaitu: bubur dan susu (bersambung).
Comments