Ketika menapaki jalan hidup terjal nan penuh derita itu, Herlijana pun bertanya, "Mengapa Tuhan mengizinkan semua penyakit ini kuderita?" Sebuah pertanyaan yang manusiawi. Pertanyaan yang mungkin saja keluar dari mulut orang-orang percaya yang mengalami penderitaan seberat dirinya. Bahkan, amat mungkin, ada orang percaya yang mempertanyakan keadilan dan ke-MahaKuasaan Tuhan tatkala tak kunjung menemukan jalan keluar dari penderitaannya. Pertanyaannya, bagaimanakah seharusnya orang percaya memandang penderitaannya?
Dalam Alkitab ada satu orang percaya yang juga mengalami penderitaan yang begitu berat. Namanya: Ayub. Sebagai manusia (tak hanya rocker yang manusia, bukan?), Ayub pun mengalami goncangan iman tatkala dirudung penderitaan. Baiklah kita belajar dari pengalaman hidup Ayub ketika bergumul dengan penderitaannya bersama-sama dengan Tuhan.
Ayub sebagai Hakim: Tuhan Salah, Ayub Benar
Orang normal akan membuang jauh-jauh semua hal yang berbau kematian dari pikiran. Misalnya, orang Tionghoa tidak suka dengan angka "empat" karena bunyinya mirip dengan kata "mati." Itulah sebabnya Saudara (hampir) tidak bisa menemukan lantai (bernomor) empat di hotel-hotel atau gedung-gedung tinggi. Tapi bagaimana dengan orang yang tidak lagi menemukan kebahagiaan? Bagi orang-orang semacam ini, kematian tampaknya lebih "menarik" daripada kehidupan. Tak sedikit orang mengakhiri hidupnya dengan mencabut nyawa mereka sendiri. Mereka berpikir, di balik kematian ada pengharapan, paling tidak, mereka tak lagi menderita. Pikiran Ayub pun dipenuhi dengan hal-hal berbau kematian. Ia menyesal mengapa ia hidup. Ia bertanya, "mengapa ia tak mati saja waktu lahir?" (Ayb. 3:1-19). Ia juga memohon agar Tuhan mencabut nyawanya (Ayb. 6:8-9). Baginya, lebih baik mati daripada hidup tapi menderita. Seberapa besar sih penderitaan Ayub, hingga ia minta mati?
Ayub dihantam derita multidimensional. Pertama, ia mengalami derita fisik. Ia kehilangan semua hartanya (baca: ternak-ternaknya) dalam sehari (Ayb. 1:13-17). Selain itu, ia harus kehilangan hartanya yang paling berharga dalam sekejap, yaitu: anak-anaknya (Ayb. 1:18-19). Bukankah keluarga adalah harta yang paling berharga (ingat soundtrack sinetron "Keluarga Cemara" yang pernah menghiasi layar kaca)? Rupanya, "film" hidup yang tragis itu belum usai. Badan Ayub pun digerogoti borok. Dari ujung rambut sampai ujung kaki (Ayb. 2:7).
Kedua, Ayub menderita secara sosial. Kehilangan Ayub dan penyakitnya membuat Ayub ditinggalkan orang-orang yang dikasihi. Ini benar-benar sebuah pukulan yang sangat berat. Kata orang, bila ada teman maka persoalan hidup jadi lebih ringan. Tapi perkataan itu tak berlaku bagi Ayub. Ia harus melanjutkan hidupnya sendirian. Istri yang diharapkan mendukung, malahan menyerang dan meninggalkannya (Ayb. 2:9; 19:17). Para kerabat dan budak-budaknya pun tak lagi di pihaknya (Ayb. 19:13-19). Lagi, orang-orang yang dulu derajatnya jauh di bawah Ayub, kini merendahkan martabatnya. Mereka menjadikan Ayub sebagai bahan olokan (Ayb. 30:1-15). Duh, betapa berat kenestapaanmu Yub!
Ketiga, Ayub mengalami "siksaan" secara emosi. Tak jarang pikirannya terganggu. Ia sering terjaga dari tidurnya (Ayb. 7:4, 13-14). Ia juga sering mengalami ketakutan (Ayb. 9:28), kesendirian (Ayb. 19:13-19), dan mengalami kepahitan (Ayb. 7:11; 10:1; 27:2).
Penderitaan yang maha berat itu membuat Ayub merasa Tuhan telah meninggalkannya. Jika pemazmur mengalami penyertaan Tuhan (Mzm. 139:7-9), Ayub tidak. Ayub berkata, "Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke Timur, Ia tidak di sana; atau ke Barat, tidak kudapati Dia; di Utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke Selatan, aku tidak melihat Dia" (Ayb. 23:8-9, 15). Selain itu, Ayub mengira Tuhan telah menyerangnya dan menganggapnya sebagai musuh. Demikian keluh kesahnya, "karena anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan aku" (Ayb. 6:4; bdk. 7:17-19; 13:24; 16:9; 19:25).
Dalam penderitaan itu, Ayub mempersalahkan Tuhan. Ia menganggap Tuhan telah berlaku tidak adil dengan mendatangkan (atau setidaknya mengizinkan) penderitaan bergulung-gulung mengempas hidupnya. Dalam sedihnya, Ayub berkata, "Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku, dan menebarkan jala-Nya atasku" (Ayb. 19:6; bdk. 27:2). Bahkan, Ayub hendak menuntut Tuhan karena "ketidakadilan" dan "kesalahanan-Nya" (Ayb. 23:3-7; bdk. 9:3, 20). Bagaimana Ayub memandang penderitaannya? Ayub merasa Tuhan telah berlaku tidak adil padanya, seorang yang hidupnya benar. Mungkin, sikap semacam ini juga dimiliki sebagian orang percaya.
Sahabat-Sahabat Ayub sebagai Hakim: Tuhan Benar, Ayub Salah
Pepatah Inggris berbunyi: "a friend indeed is a friend in need" (terj. bebas: "sahabat sejati adalah sahabat pada saat-saat yang dibutuhkan"). Syukur, masih ada sahabat-sahabat yang mengiring Ayub di jalan penderitaannya. Tatkala mereka mendengar berita tentang kesulitan yang dialami Ayub (yang pasti berita itu tidak diterima lewat email atau sms), mereka segera membesuk Ayub. Ketiga sahabat itu—Elifas, Bildad, dan Zofar—duduk bersama-sama di tanah bersama-sama dengan Ayub. Tanpa bersuara. Memang, bagi seorang yang dirudung duka, kehadiran seorang teman, meskipun tanpa kata-kata (penghiburan) bagaikan oase di padang gurun yang kering.
Setelah tujuh kali mentari terbangun dari peraduannya, keheningan itu pecah. Mulailah Elifas angkat bicara. Berturut-turut diikuti dengan kata-kata Bildad dan Zofar. Diskusi mereka dengan Ayub menjadi bagian terbesar dari kitab Ayub (psl. 4-37). Bagian ini terbagi menjadi tiga siklus. Siklus yang pertama (3-11) dan kedua (12-14), adalah dialog antara Ayub dengan ketiga sahabatnya. Sedangkan siklus ketiga (21-37) merupakan pembicaraan antara Ayub dengan Elifas dan Bildad. Kemudian, dialog ditutup dengan perkataan Elihu, seorang sahabat Ayub yang lain.
Sahabat-sahabat Ayub menyakini doktrin retribusi. Apa itu doktrin retribusi? Pada intinya, doktrin ini mengajarkan bahwa: orang benar pasti diberkati, dan orang jahat pasti menderita. Keyakinan ini dipegang oleh agama-agama Timur dekat kuno pada waktu itu. Karena Ayub (sangat) menderita, menurut para sahabat, ia telah melakukan dosa. Agar Ayub terbebas dari segala penderitaannya, para sahabat itu meminta Ayub untuk bertobat dari dosa-dosanya. Bagi para sahabat, Ayub telah berbuat salah, dan Tuhan (sudah seharusnya) mendatangkan penderitaan-penderitaan itu untuk menghukum Ayub.
Sampai kini masih ada orang yang punya pandangan serupa. Ketika melihat saudara seimannya terpuruk dalam penderitaan, ada yang berkata: "Pasti dia telah melakukan dosa yang buueesaaar! Rasain hukuman Tuhan." Memang, Tuhan bisa saja memakai penderitaan untuk menghajar anak-anak-Nya, namun, tak selalu demikian. Contohnya: Ayub. Ada lagi contoh yang lain: Yusuf. Yusuf juga mengalami penderitaan bertubi-tubi. Terpisah dari sang ayah terkasih, dijual sebagai budak, bahkan masuk penjara. Semua itu dialami bukan karena ia telah berdosa.
Tuhan sebagai Hakim: Tuhan Benar, Ayub Benar
Di tengah-tengah saling silang pendapat antara Ayub dan para sahabat, yang notabene masing-masing merasa diri benar, Tuhan hadir. Tuhan hadir di dalam badai yang dasyat. Kali ini Tuhan datang untuk menjelaskan penderitaan yang dialami Ayub. Penjelasan Tuhan ini merupakan puncak dari seluruh kitab Ayub (psl. 38-42). Jawaban Tuhan itu dibagi ke dalam dua bagian yang masing-masingnya direspons oleh perkataan Ayub.
Tuhan pun mengajak Ayub beperkara. Ia berkata, ""Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?" (Ayb. 40:2-3).
Menarik sekali bahwa Tuhan sama sekali tidak menjelaskan alasan penderitaan
Ayub. Tuhan tidak menjelaskan, mengapa Ayub meskipun ia saleh, jujur, dan takut kepada Allah tetapi ia menderita. Allah sama sekali tidak menjawab pertanyaan: "mengapa kepada orang yang paling benar ditimpakan penderitaan yang paling berat?"
Kita sebagai pembaca mengetahui alasan penderitaan yang ditimpa oleh Ayub. Dari Ayub 1-2, kita dapat membaca apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar kehidupan Ayub. Kita tahu bahwa Allah mengizinkan penderitaan bertubi-tubi untuk membuktikan kepada setan bahwa Ayub, hamba-Nya yang benar, akan tetap hidup benar meskipun ia telah kehilangan segala-galanya.
Yang membingungkan kita adalah mengapa Tuhan tidak menceritakan behind the scene itu kepada Ayub Begitu rahasia itu disingkapkan, semua khan jadi beres. Pertanyaan-pertanyaan Ayub pun akan terjawab. Ia akan pasti manggut-manggut lalu ngomong "Oh begitu, pantesan saya menderita meskipun saya orang benar, karena Tuhan mengizinkan iblis mencobai saya untuk membuktikan kemurnian iman saya!"
Aneh memang. Tuhan tidak membeberkan misteri itu. Sebaliknya, Tuhan malahan mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris pada Ayub. Praktik semacam itu biasa pada masa itu. Seorang guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris yang tak bisa dijawab oleh muridnya. Memang sang guru tidak menghendaki muridnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa sebetulnya si murid itu tak tahu apa-apa dan ia harus belajar lebih banyak lagi.
Tuhan bertanya kepada Ayub, di manakah Engkau ketika Aku menciptakan dunia ini? Jawabahannya jelas, Ayub belum ada saat Tuhan mencipta. Tuhan bertanya, siapakah yang menciptakan seluruh alam semesta ini? Jawabannya pasti, Tuhan bukan Ayub! Tuhan bertanya lagi, dapatkah Engkau menciptakan bintang-bintang dan mengatur jalannya alam semesta ini? Tentu saja jawabnya tidak dapat!
Tuhan pun bertanya tentang jalan hidup binatang-binatang liar: singa, burung gagak, kambing gunung, rusa, keledai liar, lembu hutan, burung onta, kuda dan burung elang. Tuhan tidak tanya pada Ayub mengenai binatang-binatang yang ia biasa pelihara, seperti: unta, lembu, sapi, kambing, domba dan keledai. Kalau Tuhan tanya tentang binatang-binatang peliharaaan itu, barangkali Ayub tahu jawabannya. Tetapi Tuhan bertanya mengenai binatang-binatang liar yang Ayub tidak ketahui. Yang merupakan sebuah misteri bagi Ayub.
Tuhan pun bertanya kepada Ayub mengenai Behemot dan Lewiatan (diterjemahkan LAI sebagai "kuda Nil" dan "buaya"), binatang-binatang yang merupakan lambang pencipta kekacauan. Tuhan bertanya, dapatkah Ayub berkuasa atas binatang-binatang liar itu? Jawabannya tentu saja tidak.
Saudara mungkin bertanya, apa maksud dari semua pertanyaan Tuhan itu? Apa kaitannya dengan penderitaan yang dialami oleh Ayub? Sedikitnya ada dua hal yang Tuhan mau katakan kepada Ayub (dan kepada kita) melalui pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, Allah tidak pernah salah dan Ia yang mengontrol jalan setiap orang percaya. Pribadi dan kuasa Tuhan jauh lebih besar daripada Ayub. Di hadapan Allah, Ayub hanyalah setitik debu. Tuhan tidak pernah lepas kontrol atas kehidupan Ayub. Kalau Tuhan sanggup mencipta seluruh alam semesta dan mengatur setiap detail dari ciptaan-Nya tentu Ia sanggup mengatur hidup Ayub. Allah tidak pernah salah sama sekali. Bahkan, ketika penderitaan yang Ayub alami itu begitu berat, hidup Ayub tetap ada dalam genggaman tangan Allah, sang Pencipta dan Pengatur semesta.
Kedua, Allah dan keputusan-keputusan-Nya jauh melampaui pikiran manusia. Pemikiran Ayub yang terbatas tidak sanggup memahami Allah yang tak terbatas. Jangankan memahami Allah, ciptaan-Nya saja tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia. Makanya, ilmu-ilmu hayat (kedokteran, ilmu tentang tetumbuhan dan binatang) dan ilmu non-hayat terus berkembang. Setiap waktu selalu ada penemuan yang baru. Itu buktinya manusia belum memahami sepenuhnya misteri alam semesta.
Allah pun menyatakan pada Ayub bahwa Ia benar adanya. Hal itu bertolak belakang dengan tuduhan Ayub bahwa Allah bersalah dan tidak adil ketika Ia membiarkan hamba-Nya menderita. Tuhan pun menanggapi para sahabat Ayub yang menuduh bahwa Ayub telah bersalah. Pada mereka Tuhan menunjukkan bahwa Ayub tidak bersalah. Bahkan, para sahabat itu dinyatakan Tuhan bersalah, karena menganggap Ayub bersalah.
Respons Ayub: Tetap Beriman, Meskipun Belum Tahu
Ayub memang seorang yang luar biasa. Pribadinya sungguh memukau saya. Ia tak hanya dapat diandalkan dalam hal kekudusan, kesalehan, dan kejujurannya (Tuhan sendiri lho yang menyatakannya!; lih. Ayb. 1:8). Imannya juga kokoh. Kayak batu karang. Memang perjalanan imannya sempat terseok-seok. Tapi, akhirnya ia bangkit dan menjadi pemenang. Yang mengagumkan saya ialah Ayub tetap beriman meskipun ia belum tahu. Walaupun ia belum tahu alasan penderitaannya (yaitu: untuk membuktikan kepada iblis bahwa kesalehannya bukan karena harta dan hidup bahagia), namun ia tetap setiap pada Allah. Di penghujung pergumulannya, saat Ayub belum tahu alasan penderitaannya, ia berkata kepada Tuhan, "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal" (Ayb. 42:2).
Saat kita mengalami penderitaan, tak jarang rekan kita berkata, "Tetaplah kuat, karena Tuhan punya rencana yang indah di balik semua ini." Perkataan itu benar sepenuhnya. Masalahnya adalah adakalanya, kita tak pernah tahu apa rencana indah itu. Seperti halnya yang dialami oleh Ayub, tak semua alasan atau penderitaan yang kita alami disingkap kepada kita. Namun, kita dapat berkata dengan penuh iman, bahwa penderitaan itu akan membuat kita mengenal Allah lebih dalam, seperti pengakuan Ayub, "Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau" (Ayb. 42:5). Penderitaan itu juga merenda hidup kita, supaya kita semakin hari semakin serupa Kristus (Rm. 8:28-29). Jadi, mari kita terus menjalani hidup walau sulit dan berat dengan bersandar pada-Nya, karena percaya bahwa Tuhan tak pernah salah, meski tak semua pertanyaan kita terjawab.
Untuk Ci Mar, yang sedang bergumul, tetap kuat ya! Tuhan nggak pernah tinggalkan kita.
Comments